Jangan salahkan Ariel bila Ia tetap dicintai meski kasus video porno membawanya ke penjara. Sebagai musisi, tidak ada yang salah dari diri Ariel. Menggawangi band paling sukses pada masanya, Ariel membuktikan pada khalayak jika kualitas bermusiknya tidak bisa dinodai oleh gaya hidupnya. Karena, sebagai musisi, Ia adalah profesioal sejati.
Inilah yang kemudian, secara tidak langsung, juga diamini oleh Presiden Joko Widodo. Dalam menyusun kabinet, Ia secara serius mencari para pekerja sejati. Dari proses yang serius itulah, muncul nama sosok pekerja keras yang sebelumnya tidak dikenal, Susi Pudjiastuti. Lantas, siapa Susi Pudjiastuti?
Susi adalah sosok yang sadar hak. Ia tak ragu untuk menyingkir dari kerumunan orang setelah pengumuman kabinet, duduk istirahat di taman Istana, kemudian menyalakan rokoknya sambil meminta jeda pada wartawan yang masih mewawancarainya. �Stop dong, biar Aku selesaikan dulu rokok ini,� pintanya. Ia tahu, wartawan masih ingin mewawancarainya, karena itu Ia tak lantas meninggalkan mereka, masuk Istana, istirahat dan merokok dengan penuh privasi.
Sebagai wanita, Susi adalah antitesa dari keanggunan ideal nan gemulai yang diimpikan wanita. Ia memiliki tato di betis kanannya, juga tak sungkan merokok di hadapan wartawan. Bayangkan, seorang menteri, perempuan, bertato, merokok di Istana pula, tentu tak pernah sekalipun terbesit di pikiran.
Namun begitulah Susi. Sebagai menteri, Ia menampilkan apa yang sudah lama tidak kita rasakan dari pemerintah, kesahajaan. Tanpa sungkan, Ia menampilkan dirinya, apa adanya, tanpa gaya pencitraan model apapun. Dan inilah yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan bersih tanpa pencitraan.
Namun, masyarakat Indonesia memang sudah terbiasa dengan gaya jaim yang diterapkan sejak zaman orde baru. Gaya blak-blakan, terus terang, dan apa adanya bukanlah hal yang bisa diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia yang doyan basa-basi. Maka, pejabat model Ahok dan Susi bukanlah pejabat ideal bagi mereka.
Bagi masyarakat yang terbiasa dengan gaya hidup orba, orang-orang macam Susi yang tatoan, punya suami bule, tidak tamat SMA, dan merokok tidak pantas menjadi pejabat publik. Karena, pejabat publik haruslah tauladan yang baik dan tidak bertingkah macam-macam. Karena, sosok pejabat yang ideal bagi mereka, terutama bagi kader PKS, adalah mereka yang tampil necis.
Akibat paradigma seperti ini, Susi pun banyak dihujat. Tidak sedikit pengguna Twitter, bahkan media online yang menghakiminya. Semua terjadi hanya karena Susi merokok. Walau tak sedikit juga orang yang menganggap itu adalah hal yang wajar, dan bahkan membela apa yang dilakukanya, karena meokok itu adalah hak setiap orang.
Tapi tenang, Bu. Apa yang anda lakukan bukanlah tindakan kriminal. Tidak tamat SMA karena terlibat dalam gerakan golput saat orba bukanlah kejahatan, apalagi perkara merokok yang turut memutar roda ekonomi bangsa.
Lagipula, inilah saatnya kita merevolusi mental bangsa plin-plan ini, bahwa merokok itu sah, tidak melanggar apapun. Inilah saatnya menunjukkan, bahwa hak merokok seseorang tidak boleh diberangus pikiran sesat nan fasis anti rokok karena rokok adalah barang legal yang diatur di undang-undang.
Ingat, bu, anda dinilai bukan dari rokok apa yang anda hisap, tapi anda dinilai dari apa yang anda lakukan selama menjadi menteri. Merokoklah, bu, karena itu adalah hak anda. Merokoklah, bu, karena ada 62 juta orang yang merokok seperti anda.